Di antara kaedah hukum asal yang mesti dipahami adalah kaedah hukum asal air itu suci sampai ada yang menunjukkan najisnya. Kaedah fikih ini sangat membantu ketika kita menemukan suatu air apakah najis ataukah tidak. Maka selama tidak ada dalil yang menguatkan najisnya, maka tetap dihukumi suci. Kaedah ini dapat diterapkan untuk benda cair lainnya.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata dalam bait sya’ir Qowaidul Fiqh,
الأصل في مياهنا الطهارة
Hukum asal air adalah suci.
Menyelesaikan Masalah Fikih dengan Kaedah Asal
Kaedah di atas adalah termasuk dalam masalah istishab atau hukum asal. Kaedah semacam ini digunakan ketika tidak ada dalil yang merubah dari hukum asal. Ringkasnya dalam masalah hukum ada empat macam:
(1) Masalah yang punya dalil pengharaman, dalil yang menunjukkan najis atau rusaknya ibadah, maka dihukumi sebagaimana dalil.
(2) Masalah yang punya dalil penghalalan, dalil yang menunjukkan suci atay sahnya ibadah, maka dihukumi berdasarkan dalil.
(3) Masalah yang punya dalil yang saling bertentangan, ada dalil yang menunjukkan haram, ada yang menunjukkan halal. Jika tidak mungkin dijama’ (dikompromikan), maka dilakukan tarjih (pemilihan pendapat yang lebih kuat). Di antara kaedah tarjih, dalil yang menunjukkan haram lebih didahulukan dari dalil yang menunjukkan boleh.
(4) Masalah yang tidak diketahui dalilnya, maka kembali ke kaedah asal. (Lihat penjelasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 79).
Pengertian Kaedah
Setelah memahami pendahuluan di atas, kaedah yang dibahas kali ini berarti bahwa jika tidak ada dalil yang menunjukkan air itu suci atau najis, maka kita hukumi air tersebut dengan kaedah asal, yaitu hukum asal air itu suci selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Dalil Kaedah
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29).
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. Al Anfal: 11).
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS. Al Furqon: 48).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata mengenai air laut,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci dan halal pula bangkainya.” (HR. Abu Daud no. 83, An Nasai no. 332, Tirmidzi no. 69 dan Ibnu Majah no. 386. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam hadits lain disebutkan,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya”. (HR. Abu Daud no. 66, An Nasai no. 326, Tirmidzi no. 66. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa hukum asal air adalah suci.
Penerapan Kaedah
– Ketika menemukan air becek (berlumpur) yang ada di jalan, maka dihukumi suci sampai ada dalil atau petunjuk yang menunjukkan najisnya.
Moga kaedah di atas bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
—
@ Mabna 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA
22 Rabi’ul Awwal 1434 H